Danau
Toba
Danau
Toba adalah danau terbesar di Indonesia dengan panjang
100 kilometer dan lebar 30 kilometer yang
terletak di Provinsi Sumatra Utara. Di tengah Danau tersebut terdapat Pulau Samosir. Menurut cerita, danau vulkanik ini dahulu
merupakan sebuah aliran sungai. Namun karena terjadi sebuah peristiwa yang luar
biasa, aliran sungai tersebut berubah menjadi danau.
Alkisah,
Di
daerah Sumatra Utara, hiduplah seorang pemuda pengembara. Ia mengembara ke
berbagai negeri. Pada suatu hari, sampailah ia di sebuah tempat yang alamnya
indah dan subur. Di sekitar tempat itu terdapat sebuah sungai yang jernih
airnya. Pemuda itu tertarik untuk menetap di tempat itu. Akhirnya, ia pun
membangun sebuah rumah sederhana tidak jauh dari sungai. Rumah itu terdiri dari
sebuah kamar tidur dan sebuah ruang dapur untuk memasak. Usai mendirikan rumah,
pemuda itu segera mencari sebidang tanah yang subur untuk ia tanami berbagai
jenis tanaman seperti umbi-umbian dan sayur-sayuran. Setelah menemukan tempat
yang cocok, ia pun mulai membuka lahan dengan menebangi pohon-pohon besar dan
membabat semak-semak belukar. Setiap kali pulang ke rumahnya, ia selalu membawa
kayu bakar dan menyimpannya di kolong rumahnya untuk digunakan memasak
sehari-hari. Selain berladang, pemuda itu pergi ke sungai untuk memancing ikan
untuk dijadikan lauk.
Pada
suatu hari, sepulang dari ladangnya, pemuda itu pergi ke sungai memancing ikan.
Sesampainya di sungai, ia pun segera melemparkan pancing ke tengah sungai.
Sudah cukup lama ia memancing, tapi tak seekor ikan pun yang menyentuh
umpannya. Berkali-kali ia mengangkat dan melemparkan kembali pancing ke sungai,
namun belum juga ada ikan yang memakan umpannya. “Aneh! Kenapa tidak seekor
ikan pun yang menyentuh umpanku? Padahal biasanya setiap aku melemparkan
pancingku ke sungai langsung disambar ikan. Apakah ikan di sungai ini sudah
habis?” pikirnya dalam hati.
Beberapa
saat kemudian, pemuda itu mencoba sekali lagi menarik dan melemparkan kembali
pancingnya agak ke tengah sungai. Tetapi, tetap saja belum membuahkan hasil.
Akhirnya ia memutuskan untuk berhenti memancing. Namun, ketika hendak menarik
pancingnya, tiba-tiba seekor ikan menyambarnya. Setelah beberapa saat
membiarkan pancingnya ditarik ikan itu ke sana kemari, ia pun menariknya dengan
pelan-pelan. “Aduuuh, berat sekali! Ini pasti ikan besar yang menarik
pancingku,” pikir pemuda itu.
Ternyata
benar. Setelah dengan susah payah pemuda itu menarik pancingnya hingga ke tepi
sungai, tampaklah seekor ikan besar tergantung dan mengelepar-gelepar di ujung
tali pancingnya. Dengan cepat, ia mengangkat pancingnya agak jauh ke darat agar
tidak terlepas ke sungai. Alangkah senang hati pemuda itu, karena baru kali ini
ia mendapatkan ikan sebesar itu. Saat ia melepas mata pancingnya, ikan itu
menatapnya dengan penuh arti. Ia merasa tatapan mata ikan itu bagai tatapan
mata seorang gadis yang jatuh hati kepadanya. Namun, pemuda itu berpikir bahwa
tidak mungkin seekor ikan bisa jatuh hati kepadanya.
Dengan
perasaan gembira, ia pun segera memasukkan ikan itu ke dalam keranjang ikan.
Setelah itu, ia bergegas pulang ke rumahnya sambil tersenyum membayangkan
betapa lezatnya daging ikan besar itu jika dipanggang. Sesampainya di rumah,
pemuda itu langsung membawa ikan itu ke dapur. Ketika hendak memanggang ikan
itu, ternyata persediaan kayu bakar telah habis. Ia pun segera keluar mengambil
kayu bakar di kolong rumahnya. Alangkah terkejutnya ia setelah kembali ke
dapurnya. Ikan yang tersimpan di keranjangnya sudah tidak ada lagi. “Di mana ikanku?
Bukankah tadi dia masih di keranjang ini?” gumam pemuda itu dengan heran.
Ketika memeriksa wadahnya, pemuda itu melihat beberapa keping uang emas. Ia pun
semakin heran dan bingung. “Aneh! Kenapa ada kepingan uang emas di sini? Siapa
yang menaruhnya?” gumamnya lagi.
Dengan
perasaan bingung, pemuda itu mengambil kepingan uang emas itu dan hendak
menyimpannya di kamar. Betapa terkejutnya ia saat membuka pintu kamarnya. Ia
melihat seorang gadis sedang berdiri di depan cermin sambil menyisir rambutnya
yang panjang terurai. Ketika gadis itu membalikkan badan dan memandangnya,
darah pemuda itu langsung tersirap melihat kecantikannya. Selama bertahun-tahun
mengembara ke berbagai negeri, baru kali ini ia melihat gadis secantik
dia.“Hai, siapa kamu? Kenapa bisa berada di dalam kamarku?” tanya pemuda itu
heran. Gadis itu bukannya menjawab pertanyaan si pemuda, tetapi ia malah
mengajaknya agar menemaninya ke dapur.Tanpa berkata sedikitpun, pemuda itu
menuruti pemintaan sang gadis.
Sesampainya
di ruang dapur, gadis itu langsung mengambil beras untuk dimasak. Sambil
menunggu nasi matang, gadis itu pun bercerita kepada si pemuda. “Maaf Tuan,
jika kehadiran hamba di sini telah mengusik ketenangan Tuan. Sebenarnya hamba
adalah penjelmaan dari ikan yang Tuan bawa dari sungai tadi. Sedangkan kepingan
uang emas yang ada di wadah itu adalah penjelmaan sisik hamba,” kata gadis itu.
Sang Pemuda seakan-akan tidak percaya dengan perkataan gadis itu. Tetapi apa
yang dihadapinya itu adalah kenyataan, bukan hanya mimpi belaka.
Belum
sempat ia berkata apa-apa, si gadis kembali angkat bicara. “Jika Tuan berkenan,
bolehkah hamba tinggal bersama Tuan di sini?” pinta gadis itu. “Dengan senang
hati, Putri!” jawab pemuda itu. Akhirnya, gadis itu pun tinggal di rumahnya.
Setelah beberapa minggu hidup bersama, pemuda itu melamarnya untuk dijadikan
istri. “Baiklah, Tuan! Hamba menerima lamaran Tuan, tapi Tuan harus memenuhi
satu permintaan hamba,” kata gadis itu. “Apakah permintaanmu itu, Putri?” tanya
pemuda itu. “Tuan harus berjanji untuk tidak menceritakan asal usul hamba
sebagai penjelmaan ikan kepada siapa pun,” pinta gadis itu. “Baiklah, saya
terima permintaanmu. Saya bersumpah tidak akan pernah mengungkit asul-usul,
Putri,” kata pemuda itu. Setelah pemuda itu mengucapkan sumpah, keduanya pun
menikah.
Setahun
kemudian, mereka pun dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan. Mereka
merawat dan membesarkan anak itu dengan perhatian dan kasih sayang. Namun
karena kasih sayang yang berlebihan, anak itu menjadi anak yang manja dan
pemalas. Ketika anak itu beranjak remaja, ibunya sering menyuruhnya
mengantarkan makanan dan minuman untuk ayahnya yang sedang bekerja di ladang.
Namun anak itu selalu menolak perintah ibunya, sehingga terpaksalah ibunya yang
harus mengantar makanan itu.
Pada
suatu hari, sang Ibu sedang merasa tidak enak badan. Ia pun menyuruh anaknya
agar mengantarkan bungkusan yang berisi nasi dan ikan panggang untuk ayahnya.
Mulanya anak itu menolak, namun karena sang Ibu terus memaksanya, akhirnya
dengan perasaan kesal anak itu mengantar makanan itu. Di tengah perjalanan,
tiba-tiba anak itu merasa lapar. Ia pun berhenti dan membuka bungkusan itu.
Dengan lahapnya, ia memakan sebagian nasi dan lauknya hingga yang tersisa hanya
sedikit nasi dan daging ikan yang menempel di tulang.
Setelah
kenyang, ia pun membungkus kembali makanan itu dan melanjutkan perjalanan
menuju ke ladang. Sesampainya di ladang, ia segera menyerahkan bungkusan itu
kepada ayahnya. “Wah, kamu memang anak yang rajin, Anakku!’ puji sang Ayah sambil tersenyum. Sang Ayah
yang sudah kelaparan segera membuka bungkusan itu. Alangkah terkejutnya ia saat
melihat isi bungkusan itu yang hanya sisa-sisa. Hatinya yang semula senang dan
gembira, tiba-tiba berubah menjadi kesal dan marah. “Hai, kenapa isi bungkusan
ini hanya sisa-sisa?” tanya sang Ayah dengan wajah memerah.“Maaf, Ayah! Di
perjalanan tadi saya sangat lapar, jadi saya makan sebagian isi bungkusan itu,”
jawab sang Anak.
Mendengar
jawaban itu, kemarahan sang Ayah pun semakin memuncak. Ia pun memukul anaknya
sambil berkata, “Dasar anak tidak tahu diuntung! Kamu memang benar-benar anak
keturuan ikan!” Sambil menahan rasa sakit dipukuli, anak itu bertanya kepada
ayahnya, “Apa maksud Ayah? Kenapa mengatakan aku anak keturunan ikan?”. “Asal
kamu tahu saja, ibumu adalah penjelmaan seekor ikan,” jawab Ayahnya. Mendengar
jawaban ayahnya, anak itu segera berlari pulang ke rumahnya sambil menangis.
Sesampainya
di rumah, ia pun langsung mengadu kepada ibunya. “Ibu..., Ibu...! Ayah
memukulku dan mengatakan aku anak keturunan ikan,” kata anak itu. Sang Ibu
sangat sedih mendengar pengaduan anaknya itu, karena suaminya telah melanggar
sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang mengungkit asal asulnya. Seketika itu
pula ia menyuruh anaknya agar naik ke puncak bukit. “Anakku! Naiklah ke puncak
bukit itu dan panjatlah pohon yang paling tinggi!” seru sang Ibu sambil
meneteskan air mata.
Tanpa
banyak tanya lagi, anak itu pun segera berlari ke atas bukit yang tidak jauh
dari rumah mereka. Ketika anak itu sampai di lereng bukit, sang Ibu pun segera
berlari menuju ke sungai. Saat ia berada di tepi sungai, cuaca yang semula
cerah, tiba-tiba berubah menjadi gelap gulita. Langit bergemuruh disusul petir
menyambar-nyambar yang disertai dengan hujan yang sangat deras. Pada saat
itulah, sang Ibu segera melompat ke dalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi
seekor ikan besar.
Tak
berapa lama kemudian, sungai itu banjir dan airnya meluap ke mana-mana,
sehingga tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Lama kelamaan,
genangan air itu semakin meluas dan akhirnya berubah menjadi sebuah danau yang
sangat besar. Oleh masyarakat setempat, danau itu dinamakan Danau Toba.
Demikian cerita Asal Mula
Danau Toba dari daerah Sumatra Utara, Indonesia.
>>>>>>>>>>>>>>>>T
A M A T
<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<
Pesan Moral :
1. Akibat buruk karena terlalu
memanjakan anak, sebagaimana tampak pada sikap si pengembara dan istrinya yang
terlalu memanjakan anaknya dengan mencurahkan perhatian dan kasih sayang secara
berlebihan, anak bisa jadi pemalas
2. Akibat buruk tidak pandai
memelihara amanah.
Orang yang tidak pandai memelihara amanah adalah orang yang tidak dapat
dipercaya. Hal inilah yang terjadi pada si pengembara
yang telah mengingkari janji dan sumpahnya dengan mengungkit-ungkit asal-usul
istrinya di depan anak mereka. Akibatnya, istrinya pun pergi meninggalkannya
dan kembali menjelma menjadi seekor ikan besar. Dikatakan dalam tunjuk ajar
Melayu: siapa melalaikan
amanah, hidup matinya takkan berkah siapa menolak amanah, balak menimpa hidupnya punah